tanpa nama, ia telah mati.
“jatuh cinta sekali, dan sisanya melanjutkan hidup”, kupikir itu hanya frasa.
ternyata itu terjadi, setidaknya sekarang.
segala hal yang terjadi di alam raya ini, diantaranya aku bertemu kamu. dari milyaran manusia, rencana Tuhan yang acak menurutku.
aku menemui lembutmu, piawaimu, kepekaanmu, kualitas nomor satu kurasa.
kamu yang cakap dalam menanganiku; emosi, isi kepala dan rasa ingin tahu.
kamu menjawab pertanyaan kecilku dengan komedi ringan dan juga masuk akal.
seperti semut yang suka rapat internal terlebih dahulu sebelum menggerogoti sisa makananku,
seperti saat kamu menggelitikku dengan komedi ikan arwana.
disebutlah kamu sempurna dari sudut pandang manapun, bahkan dari sedotan stainless yang sedang tren itu.
terserah kamu akan sebut gila atau apa, tapi aku mendulangi rasa itu lagi dan lagi.
aku bersama lingkaranku yang masih kamu didalamnya, kubawanya kemanapun. tanyakan pada tungkai kakiku, terserah dia saja.
jika dipikir lagi, interaksi kita bukan lagi dua orang asing. itu sudah larut lama, jauh sebelum tulisan ini termuat.
mungkin kita terlalu jatuh cinta dalam sejarah manusia, secara sadar melahirkan kita berdua yang seperti jurnal, selalu punya abstrak.
aku bukan Napoleon Bonaparte apalagi Neil Amstrong dengan segala historinya.
kau tahu? tidak ada yang lebih menggugahku dari ini, dimana kamu telah lahir sejak tulisan masa lampauku.
saat itu kita yang terkendala dalam karamnya menuai rindu, menjamu ego, bukan mengintervensi urusan pemerintah diatas sana.
seperti variabel X Y, kamu seperti itu dalam pikirku.
akan kutemukan lagi lingkaran baru tanpa garis singgungmu, sungguh hanya lingkaran.
aku meyakini kita yang bertemu jauh sebelum ini, akan bertemu lagi nanti, dalam buku baru yang bukan lagi aku penulisnya.